Tentang
Allah
مَنْ
عَرَفَ اللهَ بِأَسْمَائِهِ وَصِفَاتِهِ وَأَفْعَالِهِ أَحَبَّهُ لاَمَحَالَةَ
“Barang
siapa yang mengenal Allah melalui nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan
perbuatan-perbuatan-Nya, pasti dia akan mencintai-Nya!”
(Ibnul
Qayyim, Al-Jawabul Kafi)
Allah
adalah Al-Ilah
“Allah” adalah nama untuk
Dzat Allah ‘Azza wa Jalla. Tidak ada yang memiliki nama tersebut selain Dia.
Lafal “Allah” berasal dari tashrif أَلِهَ-يَأْلَهُ-أُلُوْهَةٌ-إِلاَهَةٌ-أُلُوْهِيَّةٌ .
Selanjutnya, إِلاَهَةٌ (Ilahah) bemakna المألوه
(Al-Ma’luh), sedangkan المألوه (Al-Ma’luh) bermakna المغبود
(Al-Ma’bud), yaitu yang disembah karena rasa cinta dan pengagungan.
Ringkasnya, Allah = Al-Ilah
(sesembahan) = Al-Ma’luh (yang disembah) = Al-Ma’bud (yang diibadahi)
Lafal jalalah ‘Allah’ adalah
isim musytaq
Para ulama berbeda pendapat
tentang asal lafal “Allah”; apakah lafal tersebut adalah isim jamid (bentuk
tunggal/berdiri sendiri) atau isim musytaq (bentuk turunan).
Pendapat pertama: lafal
jalalah ‘Allah’ merupakan isim jamid. Alasannya, kondisi musytaq (penurunan
bentuk kata) mengharuskan isim tersebut memiliki penyusun sebelumnya, padahal
nama Allah itu qadim (paling awal). Sesuatu yang qadim tidaklah memiliki unsur.
Hal ini sebagaimana seluruh nama yang hanya sekadar nama namun tak memiliki
hubungan dengan akar katanya. Contoh: seseorang bernama Nashir, namun belum tentu
dia suka menolong; seseorang bernama Mahmud, namun belum tentu perangainya
terpuji; seseorang bernama Syuja’, namun belum tentu dia pemberani.
Pendapat kedua: lafal jalalah
‘Allah’ merupakan isim musytaq. Dalilnya adalah firman Allah,
وَهُوَ
اللّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ يَعْلَمُ سِرَّكُمْ وَجَهرَكُمْ وَيَعْلَمُ
مَا تَكْسِبُونَ
“Dan
Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa
yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu
usahakan.” (Q.s. Al-An’am: 3)
Penggalan kata فِي السَّمَاوَاتِ dikaitkan dengan lafal jalalah; maknanya:
وَهُوَ
المألوه فِي السَّمَاوَاتِ وَفِي الأَرْضِ
“Dialah
sesembahan di langit dan di bumi.”
Terkait makna lafal jalalah
‘Allah’, Ibnu ‘Abbas radhiallhu ‘anhuma menyebutkan,
الله
ذو الألوهية والعبودية على خلقه أجمعين
”Allah
adalah pemilik hak uluhiyyah (ketuhanan) dan ‘ubudiyyah (penghambaan) atas
seluruh makhluk.”
Yang rajih dalam hal ini
adalah pendapat bahwa lafal jalalah ‘Allah’ adalah isim musytaq. (Penjelasan
ini terdapat dalam Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalil
Harash dan Syarh Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin)
- Allah adalah Ar-Rabb
Ar-Rabb: Al-Murabbi
(pemelihara) seluruh jagad raya beserta isinya. Segala sesuatu selain Allah
adalah makhluk bagi-Nya. Dia melengkapi kehidupan makhluk-Nya dengan segala
sarana dan prasarana. Dia curahkan nikmat berlimpah kepada mereka. Seandainya
seluruh nikmat itu lenyap, niscaya makhluk-Nya tak ‘kan mampu bertahan hidup.
Apa pun nikmat yang dirasakan (oleh setiap makhluk) maka itu datang hanya dari
Allah. (Taisir Karimir Rahman)
Tarbiyah (pemeliharaan) Allah
atas makhluk-Nya terdiri atas dua jenis:
At-tarbiyah al-’ammah
(pemeliharaan umum), berupa mencipta makhluk-makhluk, memberi mereka rezeki,
dan menunjuki jalan-jalan yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka di
muka bumi.
At-tarbiyah al-khashshah
(pemeliharaan khusus), berupa penjagaan Allah terhadap para wali-Nya (orang
yang dekat dengan-Nya). Allah memelihara mereka melalui karunia iman dan
taufik. Allah pun menyempurnakan iman dan taufik itu bagi mereka. Allah juga
menghilangkan penghambat dan penghalang antara diri mereka dan diri-Nya.
Hakikat tarbiyah khusus ini adalah: (i) pemeliharaan di atas taufik menuju
segala kebaikan; (ii) penjagaan dari segala keburukan. Barangkali ini adalah
makna tersembunyi di balik sebagian besar doa para nabi yang menggunakan lafal “Ar-Rabb”;
isi doa-doa mereka adalah meminta at-tarbiyah al-khashshah dari Allah. (Taisir
Karimir Rahman)
Berhak disembah karena
memiliki sifat rububiyyah
Yang mendapat keistimewaan
hak uluhiyyah hanya Dzat yang memiliki sifat rububiyyah.
Yang berhak disembah hanya
Dzat yang mampu mencipta jagad raya, seluruh makhluk hidup, gunung, laut,
pohon, dan makhluk lainnya. Yang berhak disembah hanya Dzat yang mampu
menurunkan hujan, mendatangkan kemarau berkepanjangan, menimpakan paceklik,
mengguncangkan bumi dengan gempa, dan meluapkan air laut. Yang berhak disembah
hanya Dzat yang mampu menerbitkan matahari di timur dan menenggelamkannya di
barat.
Mustahil seseorang adalah
tuhan sedangkan dirinya saja diciptakan. Tidak mungkin seseorang adalah tuhan
jika dia tak mampu mendatangkan manfaat meski bagi dirinya sendiri. Tidak
mungkin seseorang adalah tuhan jika dia sendiri tak bisa menyelamatkan dirinya
dari bahaya. Tidak mungkin seseorang adalah tuhan jika dia tak bisa mengubah
kondisi jagad raya dan isinya sekehendak dirinya.
Klaim tanpa bukti
Jika seseorang mengaku-aku
sebagai tuhan yang berhak disembah maka cek dahulu apakah dia memiliki sifat
rububiyyah.
Mari kita lihat kisah dua
manusia biasa yang mengklaim dirinya sebagai tuhan. Sebuah klaim tanpa bukti
nyata!
1. Raja Namrud yang hidup di
masa Nabi Ibrahim ‘alaihis salam.
أَلَمْ
تَرَ إِلَى الَّذِي حَآجَّ إِبْرَاهِيمَ فِي رِبِّهِ أَنْ آتَاهُ اللّهُ الْمُلْكَ
إِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّيَ الَّذِي يُحْيِـي وَيُمِيتُ قَالَ أَنَا أُحْيِـي
وَأُمِيتُ قَالَ إِبْرَاهِيمُ فَإِنَّ اللّهَ يَأْتِي بِالشَّمْسِ مِنَ الْمَشْرِقِ
فَأْتِ بِهَا مِنَ الْمَغْرِبِ فَبُهِتَ الَّذِي كَفَرَ وَاللّهُ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِينَ
“Apakah
kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang Tuhannya (Allah)
karena Allah telah memberikan kepada orang itu pemerintahan (kekuasaan). Ketika
Ibrahim mengatakan, ‘Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan.’ Orang itu berkata,
‘Saya dapat menghidupkan dan mematikan.’ Ibrahim berkata, ‘Sesungguhnya Allah
menerbitkan matahari dari timur, maka terbitkanlah dia dari barat,’ maka
terdiamlah orang kafir itu; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
zalim.” (Q.s. Al-Baqarah: 258)
Benarkah Namrud bisa
menghidupkan dan mematikan?
Ternyata, maksud Namrud: dia
mampu membiarkan seseorang tetap hidup dan dia mampu membunuhnya (mematikannya)
jika dia ingin. Padahal yang dimaksud Nabi Ibrahim adalah kemampuan menciptakan
makhluk hidup (dari tidak bernyawa menjadi bernyawa) dan mematikannya (dari
bernyawa menjadi tidak bernyawa). Tampak sekali bahwa Namrud tak paham hakikat
“menghidupkan dan mematikan”.
Untuk membungkam kesombongan
Namrud, Nabi Ibrahim ‘alaihis salam menggunakan hujjah lain. Beliau menantang
Namrud untuk menerbitkan matahari dari barat. Namrud tak memiliki sifat
rububiyyah, maka bagaimana mungkin dia mampu mengubah letak matahari?
Akhirnya Namrud kalah telak.
Betapa bodoh dan celakanya Namrud! (Penjelasan ini bisa disimak di Taisir
Karimir Rahman)
2. Fir’aun yang hidup di masa
Nabi Musa ‘alaihis salam
Inilah kisah Fir’aun. Si
kafir yang mengklaim dirinya sebagai tuhan, padahal dia sama sekali tak
memiliki sifat rububiyyah. Ketika laut yang dibelah oleh Allah akhirnya
tertutup kembali, dia tak dapat menyelamatkan dirinya maupun bala tentaranya!
Fir’aun mengklaim sifat
rubbubiyah pada dirinya padahal sifat itu tidak ada padanya.
فَقَالَ
أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
“Dia
(Fir’aun) mengatakan: Saya Rab kalian yang paling tinggi.” (QS. An-Nazi’at: 24)
Ini terjadi ketika dia merasa
sangat nyaman ketika disembah, kemudian kesombongannya bertambah. Akhirnya
semakin parah dan mengaku sebagai Rab, yang artinya sang pemberi kehidupan bagi
rakyatnya. Sehingga fir’aun mengklaim hak uluhiyah dan sekaligus sifat
rububiyah. Sebagian ahli tafsir mengatakan, pengakuannya sebagai Rab dilakukan
40 tahun setelah dia minta disembah (mengaku sesembahan). Di awal kekuasaannya,
fir’aun minta disembah, empat puluh tahun berikutnya, dia mengaku sang pemberi
kehidupan mesir. (Aisar Tafasir, untuk ayat di atas).
وَقَالَ
فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَهٍ غَيْرِي فَأَوْقِدْ
لِي يَا هَامَانُ عَلَى الطِّينِ فَاجْعَل لِّي صَرْحاً لَّعَلِّي أَطَّلِعُ إِلَى
إِلَهِ مُوسَى وَإِنِّي لَأَظُنُّهُ مِنَ الْكَاذِبِينَ
“Dan
Fir’aun berkata, ‘Wahai pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu
selain aku. Maka bakarlah hai Haman untukku tanah liat kemudian buatkanlah
untukku bangunan yang tinggi supaya aku dapat naik melihat Tuhan Musa, dan
sesungguhnya aku benar-benar yakin bahwa dia termasuk pendusta.’” (Q.s.
Al-Qashash: 38)
وَاسْتَكْبَرَ
هُوَ وَجُنُودُهُ فِي الْأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَظَنُّوا أَنَّهُمْ إِلَيْنَا لَا
يُرْجَعُونَ
“Dan
berlaku angkuhlah Fir’aun dan bala tentaranya di bumi (Mesir) tanpa alasan yang
benar dan mereka menyangka bahwa mereka tidak akan dikembalikan kepada Kami.”
(Q.s. Al-Qashash: 39)
فَأَخَذْنَاهُ
وَجُنُودَهُ فَنَبَذْنَاهُمْ فِي الْيَمِّ فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الظَّالِمِينَ
“Maka
Kami hukum Fir’aun dan bala tentaranya, lalu Kami lemparkan mereka ke dalam
laut. Maka lihatlah akibat yang dirasakan oleh orang-orang zalim.” (Q.s.
Al-Qashash: 40)
Di akhir hayatnya, Fir’aun
mengaku bersalah. Namun penyesalannya terlambat sudah.
وَجَاوَزْنَا بِبَنِي إِسْرَائِيلَ الْبَحْرَ
فَأَتْبَعَهُمْ فِرْعَوْنُ وَجُنُودُهُ بَغْياً وَعَدْواً حَتَّى إِذَا أَدْرَكَهُ
الْغَرَقُ قَالَ آمَنتُ أَنَّهُ لا إِلِـهَ إِلاَّ الَّذِي آمَنَتْ بِهِ بَنُو إِسْرَائِيلَ
وَأَنَاْ مِنَ الْمُسْلِمِينَ
“Dan
Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun
dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka). hingga
bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia, ‘Saya percaya bahwa
tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya
termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).’” (Q.s. Yunus: 90)
Demikianlah dua orang kafir
dari kalangan kaum terdahulu. Sungguh ini adalah kisah nyata, bukan dongeng
atau hikayat khayalan. Tidak menutup kemungkinan masih ada juga orang yang
minta dipertuhankan di masa ini.
Hendaknya orang-orang yang
berakal mengambil pelajaran. Sungguh, hanya Allah Ar-Rabb Al-Ilah. Tiada
tandingan bagi-Nya!
Maroji’:
Syarh Al-’Aqidah
Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, Dar Ibnul Jauzi.
Syarh Al-’Aqidah
Al-Wasithiyyah, Syekh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Dar Ibnul Jauzi.
Syarh Al-’Aqidah
Al-Wasithiyyah, Syekh Muhammad Khalil Harash, Dar Ibnul Jauzi.
Taisir Karimir Rahman, Syekh
‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Muassasah Ar-Risalah, Beirut.
0 komentar:
Posting Komentar