Bingkisan
Istimewa untuk Saudariku Agar Bersegera Meninggalkan Nasyid “Islami” (1)
Jika kita bicara tentang musik, dapat dipastikan bahwa mayoritas
penduduk dunia ini menyukainya. Mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang tua
gemar mendengarkan lagu-lagu nan merdu. Dari artikel yang lalu, kita telah
mengetahui keharaman hukum nyanyian dan musik sebagaimana telah disebutkan
dalam berbagai hadits yang shahih. Tidak pula diketahui adanya khilaf
(perbedaan pendapat) di antara para ulama salaf mengenai hal ini. Tapi,
kemudian timbul wacana baru yang dilontarkan oleh orang-orang yang menamai
dirinya sebagai seniman muslim tentang nasyid islami. Mereka menganggap nasyid
Islami sebagai sarana dakwah dan cara lain dalam bertaqarrub (mendekatkan diri)
kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Betulkah demikian?
Dalil
Keharaman Musik
Saudariku, ketahuilah bahwa mendengarkan musik, nyanyian, atau lagu
hukumnya adalah haram. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيَكُوْنَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّوْنَ الْحِرَ وَالْحَرِيْرَ
وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ…
“Benar-benar akan ada segolongan dari
umatku yang menghalalkan zina, sutera, khamr, dan alat musik.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menunjukkan bahwa musik adalah haram menurut syari’at
Islam. Hal yang menguatkan keharaman musik dalam hadits tersebut adalah bahwa
alat musik disandingkan dengan hal lain yang diharamkan yaitu zina, sutra
(diharamkan khusus bagi laki-laki saja), dan khamr.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
وَ مِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِى لَهْوَ
الْحَدِيْثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ بِغَيْرِ عِلْمٍ
“Dan di antara manusia (ada) orang
yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia)
dari jalan Allah tanpa ilmu.” (Qs. Luqman: 6)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan jumhur ulama tafsir menafsirkan
kata “lahwul hadits” (perkataan yang tidak berguna) adalah nyanyian atau lagu.
Ibnu Katsir rahimahullah juga menegaskan bahwa ayat ini berkaitan dengan
keadaan orang-orang hina yang enggan mengambil manfaat dari (mendengarkan) Al
Qur’an, malah beralih mendengarkan musik dan nyanyian.
Maka sangatlah tepat jika nyanyian disebut sebagai perkataan yang
tidak berguna karena di dalamnya terkandung perkataan-perkataan yang tercela
ataupun tidak mengandung manfaat, dapat menimbulkan penyakit hati, dan membuat
kita lalai dari mengingat Allah.
- Mengenal Nasyid
Orang-orang Arab pada zaman dahulu biasanya saling bersahut-sahutan
melemparkan sya’ir. Dan sya’ir mereka ini adalah sebuah spontanitas, tidak
berirama dan tidak pula dilagukan. Inilah yang disebut nasyid. Nasyid itu
meninggikan suara dan nasyid merupakan kebudayaan orang Arab, bukan bagian dari
syari’at Islam. Nasyid hanyalah syair-syair Arab yang mencakup hukum-hukum dan
tamtsil (permisalan), penunjukan sifat keperwiraan dan kedermawanan.
Nasyid tidaklah haram secara mutlak dan tidak juga dibolehkan
secara mutlak, tergantung kepada sya’ir-sya’ir yang terkandung di dalamnya.
Berbeda dengan musik yang hukumnya haram secara mutlak. Ini karena nasyid bisa
saja memiliki hikmah yang dapat dijadikan pembelajaran atau peringatan.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya di antara sya’ir itu ada hikmah.” (Riwayat Imam
Bukhari dalam Adabul Mufrad no. 6145, Ibnu Majah no. 3755, Imam Ahmad (III/456,
V/125), ad-Daarimi (II/296-297) dan ath-Thayalisi no. 558, dari jalan Ubay bin
Ka’ab radhiyallahu ‘anhu)
Dan ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang
sya’ir, maka beliau bersabda,
“Itu adalah perkataan, maka sya’ir yang baik adalah baik, dan
sya’ir yang buruk adalah buruk.” (Riwayat Imam Bukhari dalam Adabul Mufrad, dan
takhrijnya telah diluaskan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Hadits
ash-Shahihah no. 447)
- Nasyid Pada Zaman Dahulu
“Ya Allah, tiada kehidupan kecuali kehidupan akhirat, maka
ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” Kaum Muhajirin dan Anshar menyambutnya
dengan senandung lain, “Kita telah membai’at Muhammad, kita selamanya selalu
dalam jihad.” (Rasa’ilut Taujihat Al Islamiyah, I/514–516)
Akan tetapi, para sahabat
Nabi tidak melantunkan sya’ir setiap waktu, mereka melakukannya hanya
pada waktu-waktu tertentu dan sekedarnya saja, tidak berlebihan. Karena
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,
“Sesungguhnya penuhnya rongga perut salah seorang di antara kalian
dengan nanah itu lebih baik baginya daripada penuh dengan sya’ir.” (Riwayat
Imam Bukhari no. 6154 dalam “Bab Dibencinya Sya’ir yang Mendominasi Seseorang,
Sehingga Menghalanginya Dari Dzikir Kepada Allah”, ‘Ilmu dan al-Qur’an,
diriwayatkan dari jalan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu)
Maksud dari riwayat di atas adalah kecenderungan hati seseorang
kepada sya’ir-sya’ir sehingga menyibukkannya dan memalingkannya dari kesibukan
dzikrullah dan mentadabburi al-Qur’an, itulah orang-orang yang dikatakan
sebagai orang dengan rongga perut yang penuh dengan sya’ir. (Fat-hul Baari
X/564)
- Nasyid Pada Zaman Sekarang
Nasyid yang ada pada zaman sekarang tidak jauh berbeda dengan
nyanyian dan musik yang telah jelas keharamannya. Berbeda dengan zaman dahulu,
sya’ir-sya’ir mulai dilagukan dan mengikuti kaidah/aturan seni musik, sehingga
menjatuhkan pelakunya kepada bentuk tasyabbuh (menyerupai) kepada orang-orang
kafir dan fasik. Ditambah lagi, kelompok nasyid yang belakangan didominasi oleh
kaum laki-laki ini menambahkan alat musik sebagai ‘pemanis’ di dalamnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “(Setelah diketahui dari
riwayat yang shahih bahwa) bernyanyi, memainkan rebana, dan tepuk tangan adalah
perbuatan kaum wanita, maka para ulama Salaf menamakan para laki-laki yang
melakukan hal itu dengan banci, dan mereka menamakan penyanyi laki-laki itu
dengan banci, dan ini adalah perkataan masyhur dari mereka.” (Majmuu’ Fataawa
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah XI/565-566)
Kelompok-kelompok nasyid pada zaman sekarang yang mengaku mencintai
Allah dan Rasul-Nya, mereka ingin menggeser kesukaan para pemuda terhadap
lagu-lagu dan musik yang tidak Islami kepada lagu-lagu dan musik yang mereka
labelkan “Islami”. Bahkan, acara-acara rohis di sekolah-sekolah dan
kampus-kampus pun hampir tidak pernah sepi dari nasyid. Seolah hal ini
merupakan pembenaran terhadap nasyid.
Sebagian orang (ironisnya kebanyakan dari mereka adalah para
aktivis dakwah) beranggapan bahwa nyanyian/musik yang diharamkan adalah
nyanyian yang liriknya tidak islami. Sedangkan untuk “musik islami’ atau “nasyid”
maka tidak mengapa, bahkan nasyid dapat membangkitkan semangat dan sebagai
sarana ibadah dan dakwah karena lagu-lagu tersebut menggambarkan tentang Islam
dan mengajak para pendengarnya kepada keislaman.
Nasyid yang seperti ini adalah kelanjutan dari bid’ah kaum sufi
yang menjadikan nyanyian-nyanyian (mereka menamakannya dengan as-sama’) sebagai
bentuk ibadah dan keta’atan mereka kepada Allah. Kaum sufi menganggap bahwa
sya’ir-sya’ir yang mereka sebut dengan at-taghbiir (sejenis sya’ir yang berisikan
anjuran untuk zuhud kepada dunia) adalah bentuk dzikir mereka kepada Allah,
sehingga mereka layak untuk dikatakan sebagai al-mughbirah (orang-orang yang
berdzikir kepada Allah dengan do’a dan wirid). Ketika mereka melantunkan
‘dzikir’ mereka, mereka menambahkannya dengan kehadiran alat-alat musik yang
semakin menambah keharamannya, tetapi mereka menganggap itu sebagai upaya untuk
melembutkan hati. Na’udzubillah. Imam Ahmad ketika ditanya tentang at-taghbir,
maka beliau menjawab: “(Itu adalah) bid’ah”.
Syaikh Bakr Abu Zaid mengatakan bahwa beribadah dengan sya’ir dan
bernasyid sebagai bentuk dzikir, do’a dan wirid adalah bid’ah. Dan ini lebih
buruk daripada berbagai jenis pelanggaran dalam berdo’a dan berdzikir.
(Tash-hiidud Du’aa hal. 78)
0 komentar:
Posting Komentar