Bingkisan
Istimewa untuk Saudariku Agar Bersegera Meninggalkan Nasyid “Islami” (2)
- Kesimpulannya, Apakah Ada Nasyid Islami?
Tentang masalah ini, Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata, “Penyebutan
dengan nama ini sama sekali tidak benar. Itu merupakan penamaan baru. Di
seluruh kitab para salaf ataupun pernyataan para ulama tidak ada nama nasyid
Islami. Yang ada, bahwa orang-orang sufi menciptakan lagu-lagu yang dianggap
sebagai agama, atau yang disebut dengan sebutan as-sama’.”
Dari penjelasan Syaikh Shalih Al Fauzan di atas, jelaslah bahwa
nasyid bukanlah ajaran Islam dan tidak boleh dinisbatkan kepada Islam.
Seandainya nasyid merupakan bagian dari Islam, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dan para shahabat tentu akan berlomba-lomba mengamalkannya.
Akan tetapi, adakah atsar yang menceritakan bahwa mereka radhiyallahu ‘anhum
mendendangkan nasyid?
Syubhat yang biasanya datang dari orang-orang yang menggemari
“musik Islami” (nasyid) adalah mereka berdalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam juga pernah dibacakan syair-syair di hadapan beliau dan beliau
mendengarkannya, bahkan beliau pernah meminta shahabat untuk membacakannya.
Jawaban untuk permasalahan ini adalah bahwa syair-syair yang
dibacakan di hadapan Nabi shallallohu ‘alaihi wa sallam tidaklah dilantunkan
dalam bentuk paduan nada/suara dengan lirik lagu, tetapi itu hanyalah sekadar
bait-bait syair Arab yang berisi kata-kata bijak dan tamsil, penggambaran sifat
keberanian dan kedermawanan.
Para shahabat pada saat itu melantunkan syair saat melakukan
pekerjaan yang berat, seperti ketika sedang membangun, berada di medan perang,
atau melakukan perjalanan yang jauh (dengan tidak disertai alunan musik). Hal
ini menunjukkan bolehnya melantunkan jenis syair ini dan dalam kondisi-kondisi
khusus semacam itu. Tidak seperti zaman sekarang, di mana nasyid didendangkan
setiap saat, bahkan nasyid dijadikan sebagai mata pencaharian. Wal iyyaa dzu
billaah.
Berikut ini kami nukilkan fatwa dari Al ‘Allamah Hamud bin Abdillah
At-Tuwaijiri,
“Sesungguhnya sebagian nasyid yang banyak dilantunkan para pelajar
di berbagai acara dan tempat pada musim panas, yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid
Islami, bukanlah ajaran Islam. Sebab, hal itu telah dicampuri dengan nyanyian,
melodi, dan membuat girang yang membangkitkan (gairah) para pelantun nasyid dan
pendengarnya. Juga mendorong mereka untuk bergoyang serta memalingkan mereka
dari dzikrullah, bacaan Al Qur’an, mentadabburi ayat-ayatnya, dan mengingat
apa-apa yang disebut di dalamnya berupa janji, ancaman, berita para nabi dan
umat-umat mereka, serta hal-hal lain yang bermanfaat bagi orang yang
mentadabburinya dengan sebenar-benar tadabbur, mengamalkan kandungannya, dan
menjauhi larangan-larangan yang disebutkan di dalamnya, dengan mengharap wajah
Allah subhanahu wa ta’ala, dari ilmu dan amalannya.”
“Barangsiapa megqiyaskan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan
lantunan nyanyian, dengan syair-syair para shahabat radhiyallahu ‘anhum tatkala
mereka membangun Masjid Nabawi, menggali parit Khandaq, atau mengqiyaskan
dengan syair perjalanan yang biasa diucapkan para shahabat atau untuk memberi
semangat kepada untanya di waktu bepergian, maka ini adalah qiyas yang batil.
Sebab para shahabat radhiyallahu ‘anhum tidak pernah bernyanyi dengan
syair-syair tersebut dan menggunakan lantunan-lantunan yang membuat girang…”
- Bagaimana Nasyid Menjadi Bid’ah?
Sebagaimana telah dijelaskan pada artikel yang telah lalu, bahwa
bid’ah adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama. Maka, penamaan nasyid
Islami adalah perkara baru yang diada-adakan (muhdats) dan tidak ada contoh
dari Nabi yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan amalan yang tidak ada
contohnya dari Nabi, maka amalan itu tertolak.
Tidak ada satupun riwayat yang shahih yang menyebutkan tentang
pensyari’atan nasyid atau penggolongan nasyid sebagai bagian dari agama. Adapun
menjadikan nyanyian dan musik sebagai bagian dari agama adalah pemahaman yang
dimiliki oleh kaum sufi, sebagaimana telah diterangkan di atas. Selain itu,
beribadah dengan menyanyikan sya’ir adalah kebiasaan orang-orang musyrik. Dan
kaum Nashara pun menjadikan nyanyian sebagai bentuk dzikir dan do’a mereka.
Para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam dan para Shahabat
radhiyallahu ‘anhum serta para Salafush Shalih tidak pernah bertaqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan menggunakan nasyid-nasyid
Islami seperti yang ada pada zaman sekarang. Adapun sya’ir-sya’ir yang mereka
lantunkan pada waktu-waktu tertentu dimaksudkan sebagai pengobar semangat
ketika bekerja atau berperang, dan mereka tidak berlebihan dalam hal ini dan
tidak pula menjadikannya sebagai kebiasaan.
Nasyid juga bukan merupakan metode dakwah yang pernah dilakukan
oleh para Nabi ‘alaihimush sholatu wa sallam, dan tidak pula para Shahabat
radhiyallahu ‘anhum pernah melakukannya. Seandainya nasyid itu dikatakan
sebagai metode dakwah, maka dengan begitu pelakunya telah mengatakan bahwa Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam belum sempurna dalam menyampaikan
risalah, karena beliau belum mengabarkan tentang berdakwah dengan nasyid.
Sementara Allah Ta’ala telah berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,
“Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku,
dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (Qs. Al-Maaidah: 3)
Ayat di atas sebagai penjelas bahwa Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam telah menyampaikan keseluruhan risalah yang disampaikan oleh
Rabbnya melalui perantara Malaikat Jibril ‘alaihis salam. Maka, apa-apa yang
tidak termasuk syari’at pada hari itu, dia tidak akan menjadi syari’at pada
hari ini dan hari-hari berikutnya. Dan pada hari itu, Allah dan Rasul-Nya tidak
memasukkan nasyid sebagai syari’at Islam, maka apakah nasyid dapat menjadi
syari’at pada hari ini..?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Bid’ah lebih disukai oleh
iblis daripada maksiat, oleh karena itu orang-orang yang menghadiri permainan
atau sesuatu yang melalaikan, dia (sendiri) tidak menganggapnya (perbuatannya
tersebut) sebagai amalan shalihnya dan tidak mengharapkan pahala dengannya
(maka itulah maksiat). Akan tetapi barangsiapa yang melakukannya dengan dasar
(keyakinan) bahwasanya itu adalah suatu jalan (untuk bertaqarrub) kepada Allah,
maka dia akan menjadikannya sebagai agama. Jika dilarang darinya, maka dia akan
seperti orang yang dilarang dari agamanya dan memandang bahwa sungguh dia telah
terputus (hubungannya) dari Allah, dan telah diharamkan bagiannya (pahalanya)
dari Allah ta’ala jika dia tinggalkan.
Tidak ada seorang pun dari para imam kaum muslimin yang mengatakan
bahwa menjadikan hal ini (nasyid-nasyid Islam atau nasyid sufi) sebagai agama,
jalan mendekatkan diri kepada Allah adalah suatu hal yang mubah. Bahkan,
barangsiapa yang menjadikan hal ini sebagai agama dan jalan menuju kepada Allah
ta’ala maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan, orang yang menyelisihi
ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.”
“Sesungguhnya penamaan nasyid-nasyid yang dilantunkan dengan
nyanyian sebagai nasyid Islami, menyebabkan timbulnya perkara-perkara jelek dan
berbahaya. Di antaranya:
Menjadikan bid’ah ini
sebagai bagian ajaran Islam dan penyempurnanya. Ini mengandung unsur penambahan
terhadap syari’at Islam, sekaligus pernyataan bahwa syari’at Islam belum sempurna di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal ini bertentangan dengan firman Allah ‘Azza wa Jalla,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ
“Pada hari ni telah
Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Qs. Al Ma’idah: 3)
Ayat yang mulia ini merupakan dalil yang menunjukkan kesempurnaan
agama Islam bagi umat ini. Sehingga pernyataan bahwa nasyid yang berlirik
(lagu) tersebut sebagai Islami, mengandung unsur penentangan terhadap dalil
ini, dengan menyandarkan nasyid-nasyid yang bukan dari ajaran Islam kepada
Islam dan menjadikannya sebagai bagian darinya.
Menisbahkan kekurangan
kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menyampaikan dan menjelaskan
kepada umatnya. Di mana beliau tidak menganjurkan mereka melantunkan nasyid
secara berjama’ah (baca: koor) dengan lirik lagu. Tidak pula beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mengabarkan kepada mereka bahwa itu adalah nasyid Islami.
Menisbahkan kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya bahwa mereka
telah menelantarkan salah satu ajaran Islam dan tidak mengamalkannya.
Menganggap baik bid’ah
nasyid yang dilantunkan dengan irama nyanyian, dan memasukkannya sebagai ajaran
Islam.
Palingkan Lisan dan Pendengaranmu dari Sesuatu yang Sia-sia Itu
Sungguh banyak kita jumpai orang-orang yang hafal berpuluh-puluh
lagu dan nasyid, bahkan mungkin lebih dari itu. Akan tetapi, sayangnya,
hafalannya terhadap Al Qur’an sangatlah sedikit. Untuk menghafal Al Qur’an, dia
bermalas-malasan dan beralasan tidak punya kesempatan untuk itu karena terlalu
banyak kegiatan. Padahal, sering setiap harinya dia gunakan waktunya untuk
mendengarkan musik atau nasyid.
Terkadang mereka beralasan bahwa mereka mendengarkan nasyid untuk
menghibur dan menenangkan hatinya serta menghilangkan stress. Jika pikiran
mereka sedang kalut, gundah, atau sedang futur dalam iman, maka mereka
mendengarkan nasyid sebagai hiburan dan membangkitkan keimanannya. Padahal,
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
أَوَلَمْ يَكْفِهِمْ أَنَّا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ
الْكِتَابَ يُتْلَى عَلَيْهِمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَرَحْمَةً وَذِكْرَى لِقَوْمٍ يُؤْمِنُوْنَ
“Apakah
tidak cukup bagi mereka bahwa Kami telah menurunkan kepadamu Al Kitab (Al
Qur’an) yang dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam (Al Qur’an) itu
terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman.” (Qs.
Al Ankabut: 51)
Syaikh Ibnu Sa’diy menjelaskan tafsir ayat ini, “Semua itu sudah
cukup bagi orang yang menginginkan kebenaran dan berbuat untuk mencari
kebenaran. Namun Allah tidak mencukupkan bagi orang yang tidak merasa
mendapatkan kesembuhan dengan Al Qur’an. Siapa yang merasa cukup dengan Al
Qur’an dan menjadikannya sebagai petunjuk, maka dia mendapatkan rahmat dan
kebaikan. Karena itulah Allah berfirman (yang artinya) ‘Sesungguhnya dalam (Al
Qur’an) itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang
beriman’. Pasalnya, di dalam Al Qur’an bisa didapatkan ilmu yang banyak,
kebaikan yang melimpah, pensucian bagi hati dan ruh, membersikan aqidah dan
menyempurnakan akhlak, di dalamnya terkandung pintu-pintu Ilahi dan
rahasia-rahasia Robbani.”
Saudariku, daripada engkau melenakan dirimu dengan nasyid, sungguh
jauh lebih baik jika kau sibukkan dirimu untuk membaca Al Qur’an,
mentadabburinya, dan menghafalnya. Coba engkau bandingkan antara Al Qur’an
dengan nasyid yang kau sukai, apakah kau mendapatkan ilmu yang banyak, kebaikan
yang melimpah, serta pensucian hati dan ruhmu dari nasyid? Renungkanlah, apa
yang engkau peroleh dari setiap huruf nasyid jika dibandingkan dengan Al Qur’an
yang mana kau bisa mendapatkan sepuluh kebaikan dari setiap hurufnya. Maka
sungguh merupakan suatu kerugian dan kebodohan jika engkau berpaling dari Al
Qur’an dan menyibukkan diri dengan nasyid.
Saudariku, semoga Allah melembutkan hatimu sehingga engkau bisa
menerima penjelasan di atas. Maka, tinggalkanlah sesuatu yang sia-sia itu,
sekarang juga. Daripada kau buang-buang waktumu untuk mendengarkan nyanyian,
lebih baik kau gunakan untuk belajar ilmu syar’i, menghafal Al Qur’an dan
hadits, basahi lisanmu dengan dzikir kepada-Nya. Cukuplah hadits berikut ini
sebagai hujjah untukmu, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di antara sebagian dari kebaikan
keislaman seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak bermanfaat baginya.”
(HR. Tirmidzi)
Dengan demikian saudariku, dapat kita simpulkan bahwa nasyid
tidaklah mendatangkan manfaat bagi kita kecuali hanya sedikit (terbatas pada
nasyid yang dibolehkan). Islam tidak pernah mensyari’atkan nasyid, akan tetapi
Islam mensyari’atkan untuk berdzikir kepada Allah, mentadabburi al-Qur’an dan
mempelajari ilmu yang bermanfaat. Dan sesungguhnya berdzikir yang paling afdhal
adalah dengan membaca al-Qur’an, sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya,
“Dan Kami
turunkan al-Qur’an yang merupakan obat penawar dan rahmat bagi orang-orang yang
beriman.” (Qs. Al-Israa’: 82)
Wallahu Ta’ala a’lam bish showab.
Maraji’:
Adakah Musik Islami?, Muslim Atsari, cet. Pustaka at-Tibyan
Al-Qaulul Mufiid fii Hukmil an-Naasyiid, Isham ‘Abdul Mun’im
al-Murri, cet. Maktabah al-Furqan
Buletin an-Nur-Musik Dalam Kacamata Islam, edisi Senin 12 Mei 2008
Hukum Lagu, Musik, dan Nasyid, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet.
Pustaka at-Taqwa
Nasyid Bid’ah? (Terjemah Al Qoulul-Mufid fi Hukmil-Anasyid)
karangan Ishom Abdul Mun’im Al Murry
Majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XI/1428 H/2007 M
Majalah An-Nashihah Volume 06 Th. 1/1424 H/2004 M
0 komentar:
Posting Komentar